Pura Silayukti terletak di ujung selatan Gunung Luhur Desa
Ulakan, Kecamatan Manggis, Karangasem. Di sebelah selatan membentang laut yang
memisahkan antara pulau Bali dengan Nusa Penida. Di
sebelah utara berdiri Gunung Luhur. Di sebelah barat teluk Padangbai (Pelabuhan
Padangbai). Di sebelah timur Teluk Labuhan Amuk. Pura itu didirikan di atas
tanah datar dan menjorok ke laut, menghadap ke selatan.
Untuk mencapai pura itu sudah mudah, karena jalan menuju
halaman pura sudah bagus. Namun jika memakai bis besar dan banyak rombongan,
sebaiknya parkir di depan sekolah dasar Padangbai dan dari sana perjalanan
dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 400 meter. Pura itu terletak pada
ketinggian sekitar 50
meter dari permukaan laut.
Sejarah Pura Silayukti ada
disebutkan dalam lontar yaitu :
1. Babad Bendesa Mas.
Di dalam lontar ini ada disebutkan:
“Tusapa kalah ikang Mayadanawa, cinarita sira sang apuspatha Empu Kuturan,
hawelas ring tan hananing ratu, rumaksa tang Bali rajya, saksana turun pwa
saking Jawadwipa Mandala, sirajumeneng ratu ring Bali, asrama ring padang
Silayukti, irika dewataraka nira Empu Kuturan”.
Artinya:
Tersebutlah kalahnya
Mayadanawa, diceritakanlah beliau yang bergelar Empu Kuturan, beliau kasihan
karena tidak adanya raja di Bali, dijaganyalah oleh beliau keraton Bali, maka
segeralah beliau datang dari Pulau Jawa, beliau menjabat sebagai raja di Bali,
beliau membangun wisma di Silayukti Padang.
2. Dwijendra Tatwa
Di dalam lontar ini
disebutkan antara lain: “Tan warnanan ring hawan, dhatang ta sireng Gelgel,
lumaris si ring Padang, apan sang prabu sireng padang; wus prapteng Padang
sendhu ta sira £ri Waturenggong ling haji, “malah twa pwa kita penyarikan,
hangliwari kita semaya, kaya dede selahing wwang atuha, si kita penyarikan
dunungan ta sang wawu rawuh ring parhyangan pangastawan ira Empu Kuturan nguni.”
Artinya:
Tidak diceritakan di dalam
perjalanan, datanglah beliau (Pedanda Sakti Wawu Rawuh) di Gelgel lalu menuju
Padang, karena sang raja berada di Padang, setelah tiba di Padang Dalem
Baturenggong menjadi mangkel, katanya: “Padahal sudah tua kamu penyarikan, kamu
melewati janji, bukan seperti orangtua kamu berbuat, hai kamu penyarikan
istirahatkan beliau yang datang itu di palinggih bekas wisma Empu Kuturan
dahulu.”
Di dalam rental Calonarang
ada disebutkan bahwa Empu Kuturan yaitu kakak dari Empu Beradah bertapa di
Silayukti Pulau Bali. Di dalam rontal Calonarang itulah disebutkan kedatangan
Empu Beradah ke Bali sebagai utusan dari raja Airlangga untuk menobatkan salah
seorang putranya menjadi raja di Bali. Permintaan Airlangga itu ditolak oleh
Empu Kuturan.
Di dalam prasasti Pura
Kehen B, ada disebutkan, “mpi(ng) hyang Padang sangscaryya netra.”
Pada beberapa prasasti Bali
Kuna “type punah”, terdapat kata “Senapati Kuturan” seperti yang terdapat dalam
Prasasti Pura Desa Gobleg 1037 Q yaitu, “…senapati Kuturan pu caken…”
Prasasti Cempaga A 1103 Ç
menyebutkan: “senapati Kuturan makakasir dalang capek…”
Atas dasar data-data
tersebut di atas, maka disimpulkan, bahwa Empu Kuturan datang ke Bali dari Jawa
Timur diperkirakan sekitar tahun 1039 M yaitu pada masa pemerintahan Airlangga
di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan dalam lontar Calonarang. Berdasarkan
Prasasti Calcuta (1042), bahwa Airlangga dinobatkan menjadi raja di Jawa Timur
pada tahun 1019 M. la memerintah dari tahun 1019-tahun 1042 dan wafat tahun 1049.
Pada tahun 1041 Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua untuk kedua orang
putranya. Pembagian itu dilakukan oleh Empu Beradah yaitu adik dari Empu
Kuturan, sebagaimana disebutkan di dalam Nagarakrtagama.
Empu Beradah datang ke Bali
pada tahun 1041 sebagaimana disebutkan di dalam prasasti Batumadeg. Untuk
menemui Empu Kuturan di Silayukti, beliau datang ke Bali sebagai utusan raja
Airlangga. Empu Beradah minta kepada Empu Kuturan agar salah sorang putra
Airlangga dinobatkan menjadi raja di Bali. Permohonan itu ditolak Empu Kuturan.
Demikian dalam lontar Calonarang disebutkan.
Sedangkan dalam lontar Babad
Bendesa Mas disebutkan, bahwa Empu Kuturan berwisma di Silayukti dan
beliau tinggal di sana sampai wafat. Tahun berapa beliau wafat, tidak diketahui
dengan pasti.
Setelah Empu Kuturan wafat
sekitar abad 11, di tempat wisma beliau, didirikan pura sebagai tempat
pemujaannya. Pelinggih yang dibuat hanya bebaturan saja. Pelinggih
sederhana itu sampai tahun 1931 saja. Sejak tahun 1931, Pura Silayukti diperbesar
dan jumlah pelinggih ditambah. Bebaturan itu kemudian diganti dengan meru
tumpang tiga.
Siapakah Empu Kuturan dan
siapakah nama sebenarnya? Dalam Prasasti Bali Kuna yang berbahasa Jawa Kuna ada
disebutkan Senapati Kuturan. Dalam lontar Usana Dewa ada disebutkan,
bahwa Empu Kuturan datang dari Majapahit, lalu mendirikan sejumlah pura di Bali
antara lain: Pura Batu Madeg, Pura Ulun Swi, Pura Uluwatu, Pura Sakenan, dan
lainnya lagi.
Lontar Dewatatwa menyebutkan,
Empu Kuturan mengajarkan cara-cara membuat pedagingan meru. Ada lagi
lontar berjudul “Empu Kuturan”. Dalam lontar itu disebutkan, Empu
Kuturan membangun meru di Besakih. Keterangan prasasti dan lontar tersebut di
atas memberikan gambaran yang simpang siur mengenai “Kuturan”. Betapa tidak.
Antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya walaupun relevan “Kuturan” namun
jarak waktunya sangat jauh. Akhirnya muncul pertanyaan: apakah senapati Kuturan
yang disebut dalam beberapa prasasti Bali Kuna sama dengan Empu Kuturan yaitu
kakak Empu Beradah, seperti yang disebutkan dalam beberapa lontar. Untuk
menjawab pertanyaan itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
1. Empu Kuturan yang datang
dari Jawa Timur ke Bali pada zaman Pemerintahan Airlangga mendapat penghormatan
besar dari rakyat Bali dan mendapat kepercayaan besar dari raja Marakata dan
raja Anakwungsu serta beliau diberi kedudukan penting dalam pemerintahan.
Disamping itu, Empu Kuturan berperan besar di bidang keagamaan dan juga sebagai
penasihat raja. Hal ini terbukti, dalam lontar Calonarang disebutkan,
Empu Kuturan menolak kehendak raja Airlangga untuk menobatkan putranya menjadi
raja di Bali.
2. Untuk mengenang
jasa-jasa Empu Kuturan, oleh raja-raja yang memerintah kemudian, nama “Kuturan”
dijadikan nama suatu jabatan “senapati” yang artinya suatu jabatan tinggi
pimpinan perang dalam struktur pemerintahan kerajaan Bali Kuna. Contohnya,
dalam prasasti Campaga C (12460) ada disebutkan, “…senapati
Kuturan makakasir dalang capek …’
Artinya:
“…pimpinan perang yang
disebut “kuturan” bernama Dalang Capek…..”
3. Kedua alternatif
di atas memberikan kesimpulan, bahwa “senapati Kuturan” sebagaimana dimuat
dalam prsasati Bali Kuna adalah suatu nama jabatan tinggi dalam
angkatan perang dan bukan Empu Kuturan kakak Empu Beradah yang berwisma di
Silayukti.
4. Mengenai nama Kuturan,
apakah itu nama asli atau samaran, masih diperbincangkan. Di dalam prasasti
Pura Kehen B ada disebutkan: “…mpihhyang padang dang acaryya netra…” artinya:
“…pendeta pada tempat suci di Padang (bemama) Dang Acaryya Netra…” Apakah Dang
Acarya Netra ini dapat disamakan dengan Empu Kuturan di Silayukti, masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.
Atas dasar dan fakta
tersebut. dapat disimpulkan bahwa Pura Silayukti didirikan pada abad 1 1 untuk
menghormati kebesaran jasa-jasa Empu Kuturan di Bali, baik selaku pejabat
tinggi pemerintahan pada masa raja Marakata dan raja Anakwungsu, maupun selaku
pimpinan agama Hindu di Bali pada zaman Bali Kuna. Dalam kesusastraan, tercatat
bahwa Empu Kuturan mengajarkan konsepsi Kahyangan Tiga, Ngaben Swasta dan
mendirikan Pura Sad Kahyangan Jagat Bali. Beliau juga mengajarkan membuat meru
di Besakih.
Status dan fungsi
Adapun status Pura
Silayukti itu adalah Pura Dang Kahyangan sebagai penghormatan kepada orang suci
atau Dang Guru bagi umat Hindu di Bali yaitu Empu Kuturan. Walaupun Pura
Silayukti itu tidak mempunyai fungsi khusus namun di Pura ini sering dilakukan
upacara ngajarajar.
Struktur Pura
Keseluruhan komplek Pura
Silayukti terdiri dari tiga buah pura yaitu :
1. Pura Silayukti
2. Pura Tanjung Sari
3. Pura Telaga Mas
2. Pura Tanjung Sari
3. Pura Telaga Mas
Pura Silayukti, Pura
Tanjung Sari dan Pura Telaga Mas terletak satu deret dimana Pura Silayukti
sendiri berada di
tengah-tengah antara Pura Telaga Mas dan Pura Tanjung Sari. Pura Silayukti
terdiri dari tiga halaman yaitu halaman luar (jaba pura), halaman tengah (jaba
tengah) dan halaman dalam (jeroan). Jaba pura membentang di selatan merupakan
pelataran yang Juas dan datar serta bentuknya memanjang.
Jaba Tengah dikelilingi
tembok panyingker dan mempunyai dua buah pintu gerbang berbentuk candi bentar
masing-masing menghadap ke barat dan ke selatan, Di sudut barat daya terdapat
bale kulkul dan di bagian timurnya terletak bale gong. Luas halaman jaba tengah dan jeroan sepanjang
37 meter dan lebar 22 meter.
Antara jaba tengah dan
jeroan dibatasi oleh tembok dan disana terdapat tiga buah candi bentar
menghadap ke selatan, Di dalam jeroan terdapat bangunan yaitu :
1. Bale panjang
2. Piasan
3. Bale Pesamuhan
4. Padma berisi naga di atasnya,
pelinggih sapia petala
5. Padma rong dua, palinggih Bhatara di
Gunung Kembar (Bukit Bisbis).
6. Gedong rong dua, palinggih kamimitan
Empu Pascika
7. Gedong, Pasimpangan Bhatara di
Lempuyang Luhur
8. Gedong, pasimpangan Bhatara di Pura
Dasar Gelgel
9. Gedong, pasimpangan Bhatara di
Besakih
10.
Gedong, penyawangan ke Pura
Lempuyang Madya
11.
Gedong
– betel, palinggih Bhatara Manik Angkcran
12.
Padmasana
13.
Meru beratap tingkat tiga,
palinggih Bhatara Empu Kuturan l4.Meru beratap tingkat dua, palinggih Ratu
Pasek
14.
Gedong pasimpangan Bhatara di
Andakasa
15.
Gedong Manjangan sluang,
palinggih Bhatara Majapahit
16.
Gedong Palinggih Bhatara
Mahadewa
Palinggih-palinggih itu
sebagian besar dibuat dari batu padas dan bata. Hanya bale pengaruman, Meru
palinggih Bhatara Empu Kuturan dan meru palinggih Ratu Pasek atapnya dibuat dari ijuk.
Pura
Tanjung Sari
Pura Tanjung Sari terletak
di ujung selatan kaki Gunung Luhur yang menjorok ke laut. Jaraknya dengan Pura
Silayukti sekitar 100 meter. Apabila Pura Silayukti menghadap ke selatan, maka
Pura Tanjung Sari menghadap ke barat. Menurut keterangan pemangku Pura Silayukti,
I Made Oka, Pura Tanjung Sari merupakan tempat suci untuk memuja Empu Beradah,
adik Empu Kuturan. Ketika Empu Beradah datang ke Silayukti menemui Empu
Kuturan, Empu Beradah beristirahat di ujung selatan kaki Gunung Luhur itu. Di
tempat peristirahatan itulah, didirikan Pura Tanjung Sari.
Pura itu terdiri dari
sebuah halaman dengan panjang 23,5 meter dan lebar 17,50 meter. Dikelilingi
tembok dan pintu gerbangnya berbentuk candi bentar.
Di halaman terdapat
pelinggih yaitu:
1. Pelinggih Sapta Patala
2. Kang-Tsu, pemujaan orang Cina yang
tinggal di sekitar Padangbai.
3. Gedung beratap tingkat tiga,
pelinggih Bhatara Empu Beradah.
4.
Gedong beratap tingkat dua,
palinggih Jero Sedahan.
5. Padmasana
6. Gedong palinggih Bhatara di Besakih.
7.
Gedong Penyawangan ke Pura
Lempuyang Madya
8.
Gedong, pelinggih Bhatara
Majapahit
9.
Palinggih Pesamuhan
10.
Bale Piasan
11.
Bale Gong
Hanya palinggih Empu Beradah memakai atap ijuk, yang
lainnya semua dibuat dari batu padas dan bata. Bale piasan dan bale
gong atapnya dari genteng. Suatu keanehan, di pura itu ada palinggih Kong-Tsu
berbentuk gedong. Sejarahnya, konon ketika Empu Beradah beristirahat di sana,
ada orang Cina menghadap Empu. Orang Cina itulah yang dibuatkan palinggih
sebagai pengiring Empu Beradah.
Pura Telaga Mas
Pura ini merupakan suatu altar dan di atas altar itu
terdapat dua pelinggih yaitu sebuah gedong dan sebuah bebaturan. Letaknya di
sebelah utara Pura Silayukti sekitar 20 meter jaraknya. Pura ini tidak
dikelilingi tembok. Di sana tidak terdapat kolam air, walaupun namanya Pura
Telaga Mas. Konon letak pura itu dahulu adalah bekas taman tempat permandian
Empu Kuturan. Kedua
bangunan palinggih yang ada di pura itu dibuat dari semen.
Piodalan dan Status Pura
Upacara Piodalan di Pura
Silayukti diselenggarakan 6 bulan sekali pada hari Buda, Kliwon Pahang termasuk
pula Pura Telaga Mas. Tetapi untuk PuraTanjung Sari piodalannya pada hari Buda,
Kliwon, Matal. Penyelenggara piodalan adalah warga
Pasek.
Bagi Pura Silayukti, tidak ada istilah piodalan alit dan
piodalan ageng. Dalam sesajen, tidak boleh memakai daging sapi, sehingga di
pura ini tidak boleh dilangsungkan upacara yang menggunakan
sapi.
Pura Silayukti disiwi atau disungsung oleh
umat Hindu di Bali dan dipandang sebagai pura penyungsungan jagat Bali. Pura
Silayukti diemong oleh warga Pasek di Padangbai. Dahulu, sebelum dihapusnya
swapraja di Bali pada tahun 1957, Pura Silayukti diemong oleh raja Karangasem.
Dengan demikian, segala biaya ditanggung raja Karangasem.
Setelah swapraja dihapuskan, pura itu diserahkan kepada
warga Pasek di Padangbai. Namun Pura Silayukti bukan pura dadya warga
Pasek di sana. Dadya Pasek di sana terletak di Desa Ulakan. Menurut cerita,
bahwa Bhatara di Pura Silayukti mempunyai ingon-ingon binatang gaib
berupa ikan gurita agung dan seekor naga. Adapun Status Pura Silayukti adalah
Pura Dang Kahyangan penyungsungan jagat Bali sebagai pelinggih untuk Empu
Kuturan.
Dan itulah sedikit informasi tentang Asal usul Pura Silayukti, Semoga bermanfaat untuk kalian semua :)